Pandaan, 14 Agustus 2023
Hari Pramuka di Indonesia pertama kali diperingati pada 14 Agustus 1961. Penetapan Hari Pramuka ini mengacu pada momen dilaksanakannya MAPINAS (Majelis Pimpinan Nasional) yang diketuai oleh Presiden Soekarno, wakil ketua I Sultan Hamengkubuwono XI dan wakil ketua II Brigjen TNI Dr. A. Azis Saleh.
Pada momen tersebut, tanggal 14 Agustus ditetapkan secara resmi sebagai Hari Pramuka di Indonesia. Penetapan ini ditandai dengan penyerahan panji-panji pramuka oleh Presiden Soekarno kepada tokoh-tokoh pramuka dihadiri oleh ribuan anggota pramuka.
Momen tersebut sekaligus untuk memperkenalkan gerakan Pramuka kepada Masyarakat.(2)
Tahun 2023 ini merupakan peringatan Hari Pramuka yang ke-62. Peringatan Hari Pramuka pada tahun ini jatuh pada hari Senin, 14 Agustus 2023.
Sejarah Hari Pramuka di Indonesia
Penetapan Hari Pramuka di Indonesia tentunya tak terlepas dari rangkaian sejarah panjang. Kemunculan Pramuka di tanah air dimulai dari gerakan pendidikan kepanduan di Tanah Air yang sudah ada sejak zaman Hindia-Belanda.
Pada tahun 1912, dimulai latihan sekelompok pandu di Batavia (nama Jakarta pada masa penjajahan Belanda). Gerakan kepanduan ini selanjutnya menjadi cabang dari Nederlandsche Padvinders Organisatie (NPO).
Berselang dua tahun setelahnya, cabang tersebut secara resmi berdiri sendiri dan dinamakan Nederlands-Indische Padvinders Vereeniging (NIPV) atau Persatuan Pandu-Pandu Hindia Belanda. Kala itu, sebagian besar anggota NIPIV merupakan pandu-pandu keturunan Belanda.
Kemudian pada tahun 1916, berdiri suatu organisasi kepanduan yang sepenuhnya merupakan pandu-pandu bumiputera. Kepanduan tersebut bernama Javaansche Padvinders Organisatie yang dibentuk oleh Mangkunegara VII, pemimpin Keraton Solo kala itu.
Sejak saat itu, organisasi kepanduan berbasis agama, kesukuan, dan lainnya pun mulai bermunculan. Beberapa di antaranya seperti Padvinder Muhammadiyah (Hizbul Wathan), Nationale Padvinderij, Syarikat Islam Afdeling Pandu, Kepanduan Bangsa Indonesia, Indonesisch Nationale Padvinders Organisatie, Pandu Indonesia, Padvinders Organisatie Pasundan, Pandu Kesultanan, El-Hilaal, Pandu Ansor, Al Wathoni, Tri Darma (Kristen), Kepanduan Asas Katolik Indonesia, dan Kepanduan Masehi Indonesia.
Di masa Hindia-Belanda tersebut, rupanya kepanduan berkembang cukup baik. Hal ini pun berhasil menarik perhatian dari Bapak Pandu Sedunia, Lord Baden-Powell. Pada awal Desember 1934, dia bersama istrinya, Lady Baden-Powell, dan anak-anak mereka, mengunjungi organisasi kepanduan di Batavia, Semarang, dan Surabaya.
Para pandu di Hindia-Belanda juga pernah mengikuti Jambore Kepanduan Sedunia. Pada Jambore Sedunia 1937 di Belanda Kontingen Pandu Hindia-Belanda yang terdiri dari Pandu-pandu keturunan Belanda, bumiputera turut menghadiri agenda tersebut.
Para pandu tersebut berasal dari Batavia dan Bandung. Lalu ada pula yang berasal dari Pandu Mangkunegaran, dari Ambon, dan sejumlah Pandu keturunan Tionghoa dan Arab.
Sementara itu, di dalam negeri, kegiatan perkemahan dan jambore kepanduan juga diadakan di sejumlah tempat. Di Yogyakarta berlangsung All Indonesian Jamboree atau "Perkemahan Kepanduan Indonesia Oemoem" pada 19-23 Juli 1941.
Pada 27-29 Desember 1945 dilaksanakan Kongres Kesatuan Kepanduan Indonesia di Surakarta. Dalam kongres tersebut ditetapkan Pandu Rakyat Indonesia sebagai satu-satunya organisasi kepramukaan di Indonesia.
Ketika Belanda kembali mengadakan agresi militer pada 1948, Pandu Rakyat dilarang berdiri di daerah-daerah yang sudah dikuasai Belanda. Kondisi tersebut memicu munculnya organisasi lain, seperti Kepanduan Putera Indonesia (KPI), Pandu Puteri Indonesia (PPI), dan Kepanduan Indonesia Muda (KIM).
Seiring perkembangannya, kepanduan Indonesia kemudian terpecah menjadi 100 organisasi yang tergabung dalam Persatuan Kepanduan Indonesia (Perkindo). Namun, saat itu jumlah perkumpulan kepramukaan di Indonesia tidak sebanding dengan jumlah anggota perkumpulan. Masih adanya rasa golongan yang tinggi juga membuat Perkindo menjadi lemah.
Demi mengatasi kondisi tersebut, Presiden Soekarno bersama Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang saat itu merupakan Pandu Agung kemudian menggagas peleburan berbagai organisasi kepanduan dalam satu wadah. Ide tersebut pertama kali diungkapkan Presiden Soekarno saat mengunjungi Perkemahan Besar Persatuan Kepanduan Putri Indonesia di Desa Semanggi, Ciputat, Tangerang, pada awal Oktober 1959.
Selanjutnya Presiden Soekarno pun mengumpulkan tokoh dan pemimpin gerakan kepanduan di Indonesia. Seluruh organisasi kepanduan yang ada di Tanah Air dilebur menjadi satu dengan nama Pramuka.
Presiden lalu menunjuk panitia terdiri atas Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Prijono, Azis Saleh, Achmadi, dan Muljadi Djojo Martono.
Peleburan organisasi kepanduan menjadi pramuka ini tentunya tak terjadi begitu saja, melainkan diawali dengan serangkaian peristiwa yang saling berkaitan.
Pada 9 Maret 1961 diresmikan nama Pramuka dan menjadi Hari Tunas Gerakan Pramuka. Kemudian, pada 20 Mei 1961, diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 238 Tahun 1961 tentang Gerakan Pramuka, momen tersebut kemudian dikenal sebagai Hari Permulaan Tahun Kerja.
Pada 20 Juli 1961, para wakil organisasi kepanduan Indonesia mengeluarkan pernyataan di Istana Olahraga Senayan, untuk meleburkan diri ke dalam organisasi Gerakan Pramuka. Sehingga disebut sebagai Hari Ikrar Gerakan Pramuka.
Selanjutnya, pada 14 Agustus 1961, Gerakan Pramuka diperkenalkan secara resmi kepada masyarakat luas dalam suatu upacara di halaman Istana Negara. Momen itu ditandai dengan penyerahan Panji Gerakan Pramuka dari Presiden Soekarno kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang juga menjadi Ketua pertama Kwartir Nasional Gerakan Pramuka.
Panji itu lalu diteruskan Sri Sultan Hamengku Buwono IX kepada suatu barisan defile yang terdiri dari para Pramuka di Jakarta. Selanjutnya, panji tersebut dibawa berkeliling kota.
Sejak saat itulah, tanggal 14 Agustus kemudian ditetapkan sebagai Hari Pramuka di Indonesia dan dirayakan seluruh Pandu Pramuka setiap tahunnya.(1)
sumber
Pada momen tersebut, tanggal 14 Agustus ditetapkan secara resmi sebagai Hari Pramuka di Indonesia. Penetapan ini ditandai dengan penyerahan panji-panji pramuka oleh Presiden Soekarno kepada tokoh-tokoh pramuka dihadiri oleh ribuan anggota pramuka.
Momen tersebut sekaligus untuk memperkenalkan gerakan Pramuka kepada Masyarakat.(2)
Tahun 2023 ini merupakan peringatan Hari Pramuka yang ke-62. Peringatan Hari Pramuka pada tahun ini jatuh pada hari Senin, 14 Agustus 2023.
Sejarah Hari Pramuka di Indonesia
Penetapan Hari Pramuka di Indonesia tentunya tak terlepas dari rangkaian sejarah panjang. Kemunculan Pramuka di tanah air dimulai dari gerakan pendidikan kepanduan di Tanah Air yang sudah ada sejak zaman Hindia-Belanda.
Pada tahun 1912, dimulai latihan sekelompok pandu di Batavia (nama Jakarta pada masa penjajahan Belanda). Gerakan kepanduan ini selanjutnya menjadi cabang dari Nederlandsche Padvinders Organisatie (NPO).
Berselang dua tahun setelahnya, cabang tersebut secara resmi berdiri sendiri dan dinamakan Nederlands-Indische Padvinders Vereeniging (NIPV) atau Persatuan Pandu-Pandu Hindia Belanda. Kala itu, sebagian besar anggota NIPIV merupakan pandu-pandu keturunan Belanda.
Kemudian pada tahun 1916, berdiri suatu organisasi kepanduan yang sepenuhnya merupakan pandu-pandu bumiputera. Kepanduan tersebut bernama Javaansche Padvinders Organisatie yang dibentuk oleh Mangkunegara VII, pemimpin Keraton Solo kala itu.
Sejak saat itu, organisasi kepanduan berbasis agama, kesukuan, dan lainnya pun mulai bermunculan. Beberapa di antaranya seperti Padvinder Muhammadiyah (Hizbul Wathan), Nationale Padvinderij, Syarikat Islam Afdeling Pandu, Kepanduan Bangsa Indonesia, Indonesisch Nationale Padvinders Organisatie, Pandu Indonesia, Padvinders Organisatie Pasundan, Pandu Kesultanan, El-Hilaal, Pandu Ansor, Al Wathoni, Tri Darma (Kristen), Kepanduan Asas Katolik Indonesia, dan Kepanduan Masehi Indonesia.
Di masa Hindia-Belanda tersebut, rupanya kepanduan berkembang cukup baik. Hal ini pun berhasil menarik perhatian dari Bapak Pandu Sedunia, Lord Baden-Powell. Pada awal Desember 1934, dia bersama istrinya, Lady Baden-Powell, dan anak-anak mereka, mengunjungi organisasi kepanduan di Batavia, Semarang, dan Surabaya.
Para pandu di Hindia-Belanda juga pernah mengikuti Jambore Kepanduan Sedunia. Pada Jambore Sedunia 1937 di Belanda Kontingen Pandu Hindia-Belanda yang terdiri dari Pandu-pandu keturunan Belanda, bumiputera turut menghadiri agenda tersebut.
Para pandu tersebut berasal dari Batavia dan Bandung. Lalu ada pula yang berasal dari Pandu Mangkunegaran, dari Ambon, dan sejumlah Pandu keturunan Tionghoa dan Arab.
Sementara itu, di dalam negeri, kegiatan perkemahan dan jambore kepanduan juga diadakan di sejumlah tempat. Di Yogyakarta berlangsung All Indonesian Jamboree atau "Perkemahan Kepanduan Indonesia Oemoem" pada 19-23 Juli 1941.
Pada 27-29 Desember 1945 dilaksanakan Kongres Kesatuan Kepanduan Indonesia di Surakarta. Dalam kongres tersebut ditetapkan Pandu Rakyat Indonesia sebagai satu-satunya organisasi kepramukaan di Indonesia.
Ketika Belanda kembali mengadakan agresi militer pada 1948, Pandu Rakyat dilarang berdiri di daerah-daerah yang sudah dikuasai Belanda. Kondisi tersebut memicu munculnya organisasi lain, seperti Kepanduan Putera Indonesia (KPI), Pandu Puteri Indonesia (PPI), dan Kepanduan Indonesia Muda (KIM).
Seiring perkembangannya, kepanduan Indonesia kemudian terpecah menjadi 100 organisasi yang tergabung dalam Persatuan Kepanduan Indonesia (Perkindo). Namun, saat itu jumlah perkumpulan kepramukaan di Indonesia tidak sebanding dengan jumlah anggota perkumpulan. Masih adanya rasa golongan yang tinggi juga membuat Perkindo menjadi lemah.
Demi mengatasi kondisi tersebut, Presiden Soekarno bersama Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang saat itu merupakan Pandu Agung kemudian menggagas peleburan berbagai organisasi kepanduan dalam satu wadah. Ide tersebut pertama kali diungkapkan Presiden Soekarno saat mengunjungi Perkemahan Besar Persatuan Kepanduan Putri Indonesia di Desa Semanggi, Ciputat, Tangerang, pada awal Oktober 1959.
Selanjutnya Presiden Soekarno pun mengumpulkan tokoh dan pemimpin gerakan kepanduan di Indonesia. Seluruh organisasi kepanduan yang ada di Tanah Air dilebur menjadi satu dengan nama Pramuka.
Presiden lalu menunjuk panitia terdiri atas Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Prijono, Azis Saleh, Achmadi, dan Muljadi Djojo Martono.
Peleburan organisasi kepanduan menjadi pramuka ini tentunya tak terjadi begitu saja, melainkan diawali dengan serangkaian peristiwa yang saling berkaitan.
Pada 9 Maret 1961 diresmikan nama Pramuka dan menjadi Hari Tunas Gerakan Pramuka. Kemudian, pada 20 Mei 1961, diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 238 Tahun 1961 tentang Gerakan Pramuka, momen tersebut kemudian dikenal sebagai Hari Permulaan Tahun Kerja.
Pada 20 Juli 1961, para wakil organisasi kepanduan Indonesia mengeluarkan pernyataan di Istana Olahraga Senayan, untuk meleburkan diri ke dalam organisasi Gerakan Pramuka. Sehingga disebut sebagai Hari Ikrar Gerakan Pramuka.
Selanjutnya, pada 14 Agustus 1961, Gerakan Pramuka diperkenalkan secara resmi kepada masyarakat luas dalam suatu upacara di halaman Istana Negara. Momen itu ditandai dengan penyerahan Panji Gerakan Pramuka dari Presiden Soekarno kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang juga menjadi Ketua pertama Kwartir Nasional Gerakan Pramuka.
Panji itu lalu diteruskan Sri Sultan Hamengku Buwono IX kepada suatu barisan defile yang terdiri dari para Pramuka di Jakarta. Selanjutnya, panji tersebut dibawa berkeliling kota.
Sejak saat itulah, tanggal 14 Agustus kemudian ditetapkan sebagai Hari Pramuka di Indonesia dan dirayakan seluruh Pandu Pramuka setiap tahunnya.(1)
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar